Minggu, 03 Mei 2009

Merebut masa kini dengan settingan masa depan

Merebut masa kini dengan setting masa depan adalah semangat inti yang mewarnai seluruh tulisan buku ini. Merebut masa kini berarti bahwa kita ingin hidup dan hadir di hari ini dan saat ini. Tidak hidup di masa lalu dan tidak pula hidup di alam mimpi. Kita ingin hidup exist sekarang, bukan adanya seperti tiadanya. Atau kepergiaannya tidak dihiraukan apalagi ditangisi, atau bahkan keberadanyaannya tidak diharapkan. Kita ingin bahwa hidup saat ini memberikan banyak manfaat pada kepentingan manusia sebanyak-banyaknya. Tapi mengapa seolah-olah kehidupan tidak berpihak pada kita, justru yang nampak di era masa kini dimanfaatkan dan dikendalikan oleh ‘orang lain’.

Dalam konteks peradaban, masa kini umat manusia telah direbut oleh Barat dan kekuatan-kekuatan kapitalisme. Umat Islam dan bangsa Indonesia sama sekali tidak exist. Yang terjadi malah lebih parah, umat Islam (dan bangsa ini) mengikuti kehendak Barat. Jika yang terjadi secara dominant demikian, maka hal ini adalah alamat tragedi bagi kemanusiaan. Lihat saja, permainan ekonomi dunia yang menggunakan ekonomi kapitalisme liberal, telah membawa manusia pada jurang kehancurannya. Yang kaya semakin kaya raya dan yang miskin semakin tersingkirkan. Dalam politik luar negeri pun demikian, negara-negara dunia ketiga tidak diperbolehkan menggunakan nuklir sekalipun untuk kebaikan dan damai. Tapi negara-negara kapitalis diperbolehkan menggunakan nuklir bahkan boleh mengancam negara-negara yang mengganggu kepentingannya di negara-negara kawasan. Hal ini sangat menyedihkan, terutama bagi umat Islam yang memiliki potensi kebaikan seharusnya tampil memimpin dunia ini kepada kebaikannya yang hakiki.

Kenyataan persoalan-persoalan umat Islam dan bangsa kita memang persoalan yang penting untuk kita renungkan, hal itu bukan berarti mengajak kita untuk meratapi lalu termenung, justru sebaliknya fenomena-fenomena itu harus memantik kita untuk mendiagnosanya secara cermat dan mengobatinya dengan sabar.

Sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantar, tulisan ini adalah rangkaian tulisan tadabbur al-Qur’an yang menawarkan kita untuk bangkit melakukan perbaikan diri dan kolektivitas keummatan dan kebangsaan kita. Satu hal yang menjadi asumsi saya dalam membangkitkan potensi diri dan kolektivitas kita bukanlah berangkat dari permasalahan, ‘karena diri dan organ yang berangkat dari permasalahan itu sesungguhnya ia bermasalah’ ujar teman saya. Kita dapat bangkit kembali secara permanent bukan pula dari adanya common enemy (musuh bersama), sebab jika ternyata musuh itu berbalik menjadi kawan, pergerakan kita sudah tidak bersemangat lagi sebab musuh sudah tidak ada, bisa jadi lama-lama pergerakan akan terhenti. Yang membuat kita bangkit dan bergerak secara permanent dan herois adalah karena berangkat dari visi, cita-cita, dan tujuan. Rencana tentang masa depan itulah yang memicu kita bergairah dan berobsesi untuk selalu memacu diri mencapai finis masa depan yang kita gariskan. Persoalannya dari mana kita menyusun masa depan.

Teori Masa Depan
Memprediksi dan menyusun rencana masa depan dapat digali dari teori-teori berikut ini. Pertama masa depan terletak di Masa Depan itu sendiri. Kedua, masa depan terletak di Masa Lalu. Ketiga, masa depan terletak di Masa Kini, dan terakhir masa depan terletak di dalam al-Qur’an.

Terletak di Masa Depan (prediksionisme)
Teori Masa depan terletak di masa depan menyatakan bahwa kenyataan masa depan itu belum terjadi dan hanya akan terjadi pada saatnya kelak. Karena belum terjadi, maka masa depan itu terletak di masa depan itu sendiri. Untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, alat ukur yang digunakan dari teori ini adalah melakukan prediksi. Dengan memprediksi, maka apa yang akan terjadi di masa depan dapat diduga.
Sebenarnya teori masa depan ada di masa depan ini adalah satu hal yang mutlak, namun persoalannya bagi kita yang ingin berjalan ke masa depan apakah hanya diam memprediksi apa yang akan terjadi? Yang kita inginkan bukanlah menjadi pengamat masa depan an sich lebih dari itu adalah menjadi pelaku di masa depan. Agar teori prediksionisme ini lebih aplikatif maka alat yang digunakan bagi para pelaku perubahan di masa depan adalah dengan melakukan perencanaan. Dengan menjalankan rencana maka sesuatu itu akan terjadi.

Memprediksi = Menduga/Mengetahui sesuatu di Masa Depan
Merencanakan = Mewujudnyatakan sesuatu di Masa Depan

Perencanaan adalah ilmu alat untuk lebih mendekatkan diri kita pada realitas masa depan. Walaupun kita tahu sebagai manusia yang lemah, bahwa apapun rencana kita, tapi Allah jualah yang menentukan. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah.

Memprediksi maupun merencanakan sesuatu dua-duanya bersifat nisbi karena ia adalah upaya untuk menggapai masa depan. Yang perlu digarisbawahi dalam perumusan masa depan bagi umat dan diri kita adalah menyandarkan segala tujuan itu hanya pada Yang Mutlak. Dengan menyandarkan diri pada Yang Mutlak masa kini dan masa depan, maka kita mendapat pencerahan yang jelas, karena arahannya satu dan tidak bercabang-cabang. Dengan menentukan satu tujuan (Objective) maka segalanya dapat diarahkan pada tujuan itu secara terpadu.

Di dalam surat al-Insyiqaq ayat enam, Allah telah menjelaskan bahwa sesungguhnya semua manusia tengah menuju pada-Nya disadari ataupun tidak. Bagi yang menyadarinya maka ia harus bersungguh-sungguh menyandarkan diri dan perencanaannya hanya pada-Nya, menuju-Nya, dan menjalankan dengan cara yang diinginkan-Nya.

Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6).

Perencanaan membangkitkan umat dan bangsa harus disadari dalam rangka menuju dan karena-Nya. Dengan menyandarkan pada-Nya maka seluruh aktivitas menuju masa depan harus mengikuti alur yang telah dirumuskan dalam syari’ah(jalan)-Nya.

Bagi yang tidak menyandarkan diri pada dan menuju-Nya, maka ia akan mengalami apa yang digambarkan al-Qur’an sebagai berikut:
Dan barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka dia bagaikan jatuh dari langit, lalu disambar burung, atau dihempas angin ke tempat yang jauh. (QS. Al-Hajj: 31)

Orang yang tidak memiliki orientasi ketuhanan, ia akan selalu kebingungan, sering terombang-ambing, dan tidak ada tempat mengadu yang hakiki atas segala persoalannya, maka ia menjadi mudah goyah dan putus asa. Jadi, memprediksi masa depan dan merencanakan diri dan umat ke masa depan harus dengan mengikuti jalan dan informasi-informasi yang dikabarkan Tuhannya melalui perantaraan wayhu dan para utusan-Nya.

Terletak di Masa Lalu (romantisme)
Orang-orang Barat jika ingin mengetahui nasib sebuah bangsa di masa depan maka ia akan mempelajari masa lalu bangsa itu. Dengan mendeteksi fakta-fakta yang telah terjadi pada bangsa dan komunitas itu, dengan mudah dapat diduga akan seperti apa nasib bangsa itu di masa depan. Karenanya mereka sangat kuat penjagaan data-data dan arsip-arsip sejarah bangsa-bangsa. Karenanya juga mereka lebih mengenal bangsa itu melebihi para penduduk bangsa itu sendiri. Penduduk sebagai pelaku, biasanya abai terhadap apa-apa yang telah dilakukan oleh kaumnya sebelumnya, karena bagi mereka yang penting adalah hari ini dan esok hari. Tapi bagi kalangan orang-orang yang memiliki kepentingan politik, untuk menghegemoni suatu bangsa, mereka membaca ‘tubuh’ bangsa itu secara komprehensif dari masa lalu hingga masa ia hidup.

Dengan membaca masa lalu akan didapatkan keterangan-keterangan yang berharga, setidaknya dalam dua hal yakni: sesuatu yang tetap dan yang berubah-ubah. Karakter apa yang tetap pada bangsa itu dan pola-pola apa yang dapat berubah pada bangsa itu akan disikapi secara berbeda. Dengan mengetahui data-data pasti apa yang terjadi di masa lalu, mereka dapat melakukan intervensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran dengan caranya yang kreatif. Seperti misalnya, apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang disiplin, jika ya maka pendekatannya adalah pendekatan formal. Sebaliknya jika bangsa Indonesia adalah bangsa penurut dan tidak efisien, maka ia akan dijajah dengan cara harus tunduk pada aturan mereka.

Teori masa depan terletak di masa lalu, cukup banyak digunakan dalam berbagai kesempatan baik dalam proses perencanaan diri maupun perencanaan organisasi dan negara. Dalam merencanakan diri, sebelum merumuskan visi yang ideal, maka perlu membaca sejarah diri terlebih dahulu agar ketika cita-cita ideal itu tidak tercapai tidak jatuh dengan keras. Makanya dengan membaca sejarah diri menjadikan diri kita lebih arif dan lebih realistis.

Bagitu pula dalam upaya membangkitkan umat yang sempat berjaya selama seribu tahun memimpin dunia, tapi karena pergerakan peradabannya mengalami deklinasi selama seratus tahun lebih, maka upaya penyehatannya tidak bisa satu dua tahun, perlu ada jangka waktu tertentu untuk mengalami terapi dan uji coba pengobatan.

Teori masa depan terletak di masa lalu ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah dipersiapkan untuk esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)

Ayat ini menganjurkan kita untuk melihat masa lalu yang sudah terjadi atau yang disiapkan untuk menuju masa depan. Dengan menganalisasi masa lalu akan didapat bagaimana format masa depan bangsa ini. Tapi jika kita tela’ah lebih lanjut penggunaan lafdziyah pada ayat ini, akan ditemukan bahwa ‘memperhatikan’ atau ‘melihat’ masa lalu itu tidak menggunakan lafadz ra’a (melihat), tetapi nadhara yang di antara varibel katanya adalah an-nadhariyah atau dalam bahasa kita diartikan teori. Lafadz nadhara adalah lafadz yang berarti melakukan teoritisasi. Jadi yang diperintahkan di dalam ayat ini adalah melakukan teoritisasi sejarah. Dengan melakukan analisis atau teoritisasi sejarah akan diketemukan tingkat kemampuan bangsa atau umat ini untuk bangkit kembali. Maka dari sanalah sejarah masa depan akan terbentuk.

Di sisi lain ayat ini juga memerintahkan kita untuk melakukan perencanaan diri menuju masa depan itu. Sebab masa depan itu hanya akan ditemui oleh para pelaku jika ia merencanakan diri. Jadi masa depan sebetulnya adalah kumpulan perencanaan yang mengalami kesepakatan-kesepakatan, benturan-benturan, dan kompromi-kompromi. Ustadz Anis Matta mengatakan jika memperhatikan secara seksama, “bahwa ayat pendek ini diapit oleh dua perintah bertaqwa dua kali, itu artinya bahwa ekspresi terkuat dari ketaqwaan adalah merencanakan diri.”

Terletak di Masa Kini
Madzhab yang mengatakan bahwa masa depan terletak di masa kini adalah madzhab realis. Yakni bahwa masa depan yang kita bicarakan itu adalah masa kini itu sendiri. Juga yang dimaksud dalam pandangan masa depan terletak di masa kini itu adalah bahwa apa yang dilakukan di masa kini akan berdampak pada realitas yang akan berkembang kemudian di masa depan. Tradisi yang diujicobakan saat ini lama kelamaan akan menjadi karakter yang terbawa-bawa hingga ke masa depan. Kenyataannya memang demikian, karena jika pun kita memiliki rencana yang teratur rapi dan sistematis jika tidak diaplikasikan rencana itu tidak akan mewujud nyata. Oleh karena itu, perencanaan di masa depan sangat ditentukan oleh kenyataan hari ini.

Teori masa depan terletak di masa kini menjelaskan bahwa apa yang terjadi di masa depan tergantung dengan usaha kita saat ini. Ustadz Hasan al-Banna mengatakan bahwa hari ini adalah hasil dari mimpi kita kemarin, dan masa depan adalah hasil mimpi kita sekarang. Persoalannya apakah kita memimpikan sesuatu yang akan terjadi di masa depan dan bekerja penuh untuk mewujudkannya. Maka jawabannya jika kita bermimpi dan bekerja, masa depan akan terbentuk oleh kenyataan hari ini. Demikianlah bagi mereka yang menjalankan hidup dengan visi besar dan perencanaan, ia akan menjalankan hari-harinya dengan bermakna. Dan dia akan selalu waspada jika apa yang sudah direncanakan itu akan mengalami kegagalan. Oleh karenanya mereka yang menjalani hidup hari ini-nya dengan penuh makna akan menkimati proses dan perjuangan yang berliku. Dan karenanya pula ia harus bersabar menjalankan proses itu.

Allah berfirman,
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu. Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu. Dan kamu akan dikembalikan kepada yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata; maka Dia akan memberitakan kepadamu tentang apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Berkenaan dengan ayat di atas, yang terpenting bagi kita sebagai makhluk yang tidak tahu kapan jadwal ajal tiba adalah bekerja dan bekerja, beramal dan beramal. Dan amal yang kita kerjakan bukanlah amal yang sia-sia melainkan amal yang memiliki nilai yang unggul. Nilai yang unggul ini sebenarnya bisa karena banyak faktor, di antaranya adalah niat (visi) maupun kualitas kerja dan manfaatnya itu sendiri.

Kerja yang visioner mungkin dapat kita ambil contoh tentang tiga orang badui Mesir di zaman kuno yang tengah mengangkat batu. Ketiga-tiganya mengangkat batu yang sama beratnya dengan keringat yang sama derasnya. Tapi ketika ditanya, tampak perbedaan niat atau visi kerjanya, dan dari sinilah justru kualitas nilainya dapat diperhitungkan. Coba perhatikan bagaimana mereka menjawab pertanyaan yang sama ini:
“Apa yang sedang anda kerjakan wahai budak?”
Budak pertama menjawab, “Apa kamu tidak melihat saya sedang kelelahan mengangkat batu berat ini?”
Setelah budak pertama lewat, budak kedua ditanya lalu dia menjawab, “Aku sedang membangun piramida.”
Lalu, budak ketiga ditanya juga setelah budak kedua lewat, dia menjawab begini, “Aku sedang membangun peradaban Mesir.”
Coba bandingkan, dari satu pekerjaan yang sama ditanya dengan pertanyaan yang sama tapi dijawab dengan jawaban yang menunjukkan kualitas yang berbeda. Kira-kira mana budak yang visioner dan sangat memaknai hidup hari-harinya itu? Saya yakin anda bisa menjawab dengan cerdas.
Jadi, masa depan terletak di masa kini erat kaitannya dengan visi dan impian kita serta usaha kita untuk mewujudkannya, sesederhana apapun yang kita lakukan ia akan berdampak kepada alam masa depan kita.

Terletak dalam al-Qur’an
Terakhir, setelah kita mengetahui masa depan terletak di tiga masa: lalu, kini, dan esok, kita perlu meyakini bahwa masa depan juga terletak di dalam al-Qur’an. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang ber-asbabun nuzul, konon mengisyaratkan akan terjadi pengulangan dalam alam kenyataan di masa kini dan masa depan. Sejauh mana tingkat kebenaran proposisi ini perlu ada riset yang dilakukan untuk mendeteksi ‘pengulangan’ kejadian itu dalam rentang 1400 tahun pasca wahyu turun. Allahu a’lam. Yang jelas masalah masa depan dan kaitannya dengan asbabunnuzul ini termasuk masalah yang ghaib.

Yang dimaksud dengan masa depan terletak dalam al-Qur’an adalah bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah yang dijadikan sebagai petunjuk bagi semua manusia. Dari zaman Nabi Muhammad saw. diutus hingga umatnya di akhir zaman al-Qur’an akan selalu relevan dan menjadi panduan yang dapat membimbing manusia pada jalan kebenaran. Di dalam al-Qur’an juga termaktub informasi-informasi bersejarah, fakta informasi al-Qur’an menginformasikan kekalahan dan kemenangan Romawi dijelaskan dalam surat ar-Rum, dan itu semua disaksikan sendiri oleh para sahabat Nabi.

Dalam konteks kita sebagai umatnya di akhir zaman, apa yang diinformasikan dalam al-Qur’an sesungguhnya adalah informasi berharga dalam merekayasa masa depan. Bisa jadi ayat-ayat yang dikatakan ayat masa depan itu karena keterbatasan manusia memahaminya, seperti langit ini bagaikan bunga mawar yang merah, di masa lalu tidak dapat dipahami, tapi di era sekarang baru diketemukan dengan teknologi astronomi yang canggih. Begitu juga dalam aspek historis dan empirikal kehidupan manusia. Al-Qur’an mengabarkan bahwa goncangan alam dan kerusakan lainnya adalah diakibatkan oleh tangan-tangan manusia, dan kabar-kabar lain yang jika diteoritisasi ayat-ayat itu akan ditemukan fakta bahwa al-Qur’an menjadi pembimbing yang paling relevan untuk pengembangan umat manusia di masa yang akan datang.

Berkenaan dengan proyek peradaban di masa yang akan datang yang akan dihadirkan oleh umat Islam, sesungguhnya al-Qur’an telah mengabarkannya empatbelas abad yang lalu. Namun bisa jadi dalam kondisi kita yang belum melihatnya secara kasat mata maka hal itu menjadi bab keyakinan tersendiri bagi kita: tinggal apakah kita meyakininya ataukah tidak, lalu bagaimana kita mewujudkannya. Begitulah gaya al-Qur’an menghendaki agar kita bekerja dan merancang kebangkitan umat ini dengan kehendak al-Qur’an. Seperti kabar gembira bagi kaum muslimin dan umat manusia bahwa masa depan muka bumi ini akan diwariskan pada orang-orang shaleh sebagaimana termaktub di dalam surat al-Anbiya’ ayat 105:
Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.
(QS. Al-Anbiya’: 105)
Dalam ayat ini diisyaratkan tentang realitas masa depan bahwa muka bumi akan kembali dipimpin oleh orang-orang saleh yakni kaum muslimin. Melalui kabar ini, al-Qur’an menghendaki agar kita menyambutnya dengan gembira dengan menyiapkan diri menyongsong masa depan yang cerah bahwa esok hari adalah hari-hari kepemimpinan kaum muslimin. Bahwa peradaban dunia ini akan disokogurui oleh peradaban Islam.

Urgensi Planning dan Filosofinya
Melalui kabar gembira yang disampaikan al-Qur’an tadi, maka kewajiban kita adalah merencanakan dengan cermat kebangkitan Islam itu agar kebangkitannya bukanlah kebangkitan sesaat. Yang kita inginkan bukanlah tampil sekejap dan murung kembali akibat gertakan peradaban kapitalisme, melainkan tampil dengan performance yang sempurna dan dihargai oleh peradaban lainnya. Maka dari itu sedari awal rencana kebangkitan ini bukanlah karena trend melainkan karena perencanaan.

Pentingnya perencanaan bagi kita adalah agar kita mendapatkan panduan yang sistematis dalam melalui fase-fase kehidupan. Kehidupan tanpa rencana bisa-bisa dijebak oleh mereka yang memiliki rencana. Jika kita ingin menjadi pelaku maka mau tidak mau kitalah yang merencanakan bukan kita dimakan rencana orang lain.

Dalam konteks individual dan kolektivitas kita, perencanaan disusun bukanlah sekedar untuk agenda sehari dua hari, melainkan merencanakan dalam skala yang lebih besar dan berjangka panjang. Sehingga peristilahan yang digunakan adalah rencana strategis atau Renstra. Pentingnya menyusun dalam jangka panjang agar kita dapat bergerak di wahana yang lebih luas. Kaum muslimin sebenarnya diperintahkan Allah agar memiliki visi yang besar dan bersifat internasional, dengan visi besar ini memungkinkan kita memiliki langkah yang strategis dan tidak mudah pragmatis. Oleh karenanya kita akan menjadi hamba-hamba-Nya yang sabar mengarungi kehidupan, sebab landasan dasarnya adalah karena kita menjadikan diri kita sebagai bagian dari strategi perubahan itu. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)

Secara ideologis perlunya landasan rencana strategis ini dirancang berangkat dari ayat yang menjadi teori aksioma perubahan, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa yang ada di dalam dirinya”. Ayat ini menjadi landasan bagi fiqh taghyir (fiqh perubahan), bahwa untuk melakukan perubahan diperlukan perencanaan yang sistematis.

Secara definitif, teori kedua aksioma perencanaan perubahan itu harus berangkat dari visi besar yang dibangun di masa yang akan datang dengan berangkat dari kontinuitas sejarah yang panjang. Perencanaan strategis dalam pandangan Islam adalah bagian dari ekspresi terkuat sebuah ketakwaan. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah pada Allah dan hendaklah setiap diri menganalisa masa lalunya untuk merancang masa depan, dan bertakwalah pada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Katakanlah bahwa masa depan itu adalah terbentuknya masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera. Dalam konteks Islam bentuk masyarakat ideal tersebut bersifat given, diberikan dari Allah, bukan hasil perabaan manusia. Maka gambaran tentang masyarakat ideal tersebut di masa depan harus dirujuk pada format yang Allah kehendaki. Al-Qur’an mengabarkan format itu melalui dua teori yakni teori masa depan ada di masa lalu dan di dalam al-Qur’an, kedua-duanya termaktub jelas sebagaimana pujian Allah terhadap negeri Saba yang dikenal dengan sebutan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur atau negeri yang baik dan Tuhanpun mengampuni. (QS. Saba’: 15).

Tergambar dari ayat ini bahwa format masyarakat Rabbani, madani, adil dan sejahtera itu memiliki keterpaduan dan keseimbangan antara alam material dan spiritual yang dikelola dengan baik (thoyyibah) dalam bingkai aturan-Nya (syari’ah) sehingga Dia memberikan ampunan pada penduduk tersebut. Maka, tergambar karakter dan syarat-syarat pembentukkan masyarakat seperti di atas bahwa masyarakat ideal tadi adalah masyarakat berpengetahuan (‘ilm), masyarakat yang produktif (muntijah), dan masyarakat yang professional (itqan), sehingga layak bagi Allah memberikan pada mereka kesejahteraan yang melimpah di dunia dan janji yang lebih baik di akhirat kelak.

Dambaan kita adalah menjadikan negeri Indonesia ini dan negeri-negeri kaum muslimin sedunia sebagai negeri yang disebut al-Qur’an: baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Kita menginginkan agar masyarakat kita diatur Allah dan mendapatkan kemelimpahan berupa kesejahteraan material dan kenikmatan spiritual. Untuk mendapatkan hal itu semua, sesuai dengan teori aksioma pertama, maka usaha hamba-hamba-Nya untuk mencapai ke sana harus dilakukan terlebih dahulu. Jika kita berupaya, janji Allah sudah sangat jelas:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Bisa dibayangkan, bagaimana kita mendapat keberlimpahan yang luar biasa dan di mana-mana, sudah barang tentu kita akan bersyukur dan menambah selalu kesyukuran kita pada-Nya. Namun cita-cita mendapatkan itu semua pada kenyataannya membutuhkan proses. Dan melalui berproses itulah kita dituntut untuk selalu sabar menuju tujuan kita yang telah kita gariskan tadi. Baik berproses maupun bercita-cita, kedua-duanya perlu dirancang dalam sebuah perencanaan. Di sinilah pentingnya rencana, bahwa dengan perencanaan, kita bergerak dengan kesadaran dan kehidupan yang kaya makna.

Delapan Sikap Berdialektika dengan Planning
Setelah kita merencanakan sesuatu, baik dalam konteks pribadi maupun kolektivitas institusi kita, maka saya menyarankan agar kita memegang delapan sikap berdialektika dengan perencanaan. Berikut sikap-sikap itu:

Pertama, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok
Mihwar (fase) gerakan yang dirancang gerakan, organisasi, lembaga, jamaah, partai, maupun Negara adalah bentuk perencanaan strategis pengembangan dirinya dengan melakukan prediksi-prediksi masa depan sesuai dengan kapasitas institusi yang dimilikinya. Allah berfirman, “tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi esok hari” (QS. Lukman: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa perencanaan apapun mengenai masa depan bersifat nisbi, bukan mutlak, yang mutlak hanyalah Allah. Sehingga kita mamahami mihwar institusi ini dalam kerangka yang dialekstis. Sebab perencanaan itu pada implementasinya di lapangan akan mengalami proses analisa kondisi, perhitungan resiko, pertimbangan-pertimbangan, kesepakatan-kesepakatan, negosiasi, dan perubahan-perubahan.

Kedua, keyakinan adanya sunnah pergiliran peradaban
Allah telah menjanjikan bahwa kaum beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan kejayaannya kembali setelah dipergilirkan masa-masa kejayaan itu pada peradaban manusia lainnya. “… dan masa (Kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran: 140). Namun keyakinan ini tidaklah akan mewujud nyata pada peradaban Islam kontemporer jika umatnya sendiri tidak memenuhi persyaratan-persayatan yang dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi peradaban. Maka kerja-kerja yang signifikan setelah dilakukan perencanaan adalah memenuhi persyaratan-persyaratan itu dan sekaligus meningkatkan kapasitas diri dan supporting system-nya.

Ketiga, keyakinan adanya sunnah pergantian masyarakat
Dalam konteks mikro al-Qur’an banyak mengungkapkan fenomena di masa lalu yang kemudian akan menjadi ibrah di masa mendatang dengan akan terjadi pergantian penghuni negeri. Mungkin regenerasi adalah suatu hal yang natural bagi masyarakat dan peradabannya. Namun jika merujuk pada ayat ini: “… dan jika kamu berpaling, Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS. Muhammad: 38) kita akan meyakini bahwa masyarakat yang lebih baik akan lahir, dengan izin Allah, menggantikan masyarakat sebelumnya. Tetapi juga ayat ini mengisyaratkan, sesungguhnya proses pergantian masyarakat itu sangat tergantung pada kualitas keimanan dan keshalihan kita sendiri, apakah kita adalah generasi yang akan menggantikan masyarakat sebelumnya ataukah justru kita yang digantikan Allah. Hal ini semua ditimbang dalam sebuah ketentuan dan batas-batas bahwa, pergantian itu terjadi jika kita dan masyarakat kita berpaling dari Allah.

Keempat, perubahan itu harus dari diri masyarakat terlebih dahulu
Melakukan perubahan sosial tidak bisa selesai dengan menunggu burung ababil yang dikirim Allah untuk menyelamatkan masyarakat dari serangan luar dan hanya berpangku tangan tanpa melakukan perbaikan-perbaikan. Masa-masa keajaiban itu bersifat ghaib dan kita menyerahkannya pada Allah. Dalam alam pikiran rasionalitas kita, secara logis Allah menegaskan sebuah hukum alam (sunnatullah) bahwa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad: 11). Ayat ini dengan jelas menuntut segala potensi yang kita miliki untuk melakukan perubahan, jika kita telah bergerak maka Allah pun akan membantu perubahan itu.

Kelima, perubahan itu harus direncanakan
Ketidaktahuan kita akan esok hari, bukan berarti kita tidak boleh melakukan perencanaan masa depan kita. Justru dalam memenangkan kompetisi kehidupan dibutuhkan perencanaan yang matang. Perencanaan adalah bagian pertama dalam amal. Dengan merencanakan maka kita mendapat panduan dan gambaran arah ke mana kita bergerak. Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuinya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6). Lafadz “kadihun-kadhan” berarti kerja keras yang memiliki nilai expert, yakni kerja yang sungguh-sungguh luar biasa. Kerja ekstra itu ditujukan untuk menemui Realitas Obyektif, Allah swt. Pekerjaan itu sendiri adalah kerja-kerja ‘ubudiyah dan khilafah, dan keduanya menuntut implementasi yang terencana. Dalam proses perencanaan ini pun harus kita sandarkan pada ketakwaan kita pada Allah. (QS. Al-Hasyr: 18)

Keenam, perubahan itu bertahap dan kontinue
Perlu diingat bahwa perencanaan itu tidak serta merta dapat diimplemetasikan dengan tidak melihat realitas di lapangan. Di lapangan akan kita temukan orang-orang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Proses memberikan pemahaman itu pun terkadang harus disampaikan secara bertahap sesuai logika yang dapat dicerna oleh kader pada saat itu. Dalam logika struktur gerakan, masing-masing daerah memiliki prioritas-prioritas dalam menyelesaikan masalahnya. Maka pada tataran level organisasi, sebuah rencana akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dan penerjemahan-penerjemahan mulai dari nilai-nilai idealismenya, gagasan dan ide konsepsionalnya, serta program-program strategisnya, hingga operasional teknisnya. Bahkan dalam tahap perubahan itu sendiri dibutuhkan kepekaan dan kearifan lokal, sebab sudah menjadi kebijakan Allah bahwa masing-masing memiliki kondisi yang berbeda dan pemahaman yang berjenjang. “pasti kamu akan melewati tingkatan demi tingkatan” (QS. Al-Insyiqaq: 19). Maka sosialisasi sebuah ide dan gagasan harus dilakukan sebaik mungkin, sebab di interaksi dengan komunitas masyarakat yang homogen lebih mudah daripada masyarakat yang heterogen. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa fase-fase perjuangan itu harus bersifat kontinyuitas. Tahap yang satu menjadi fondasi bagi tahap setelahnya. Begitu juga sebaliknya, tahap yang satu itu adalah prolog bagi tahap pengembangan berikutnya.

Ketujuh, momen-momen kemenangan itu melibatkan Allah
Banyak al-Qur’an mengungkapkan bahwa di momen-momen perjuangan dan kemenangan itu Allah selalu terlibat. Dalam surah al-Anfal ayat 17 dijelaskan bahwa, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka selalulah berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berbangga diri, sebab ketentun Allah lebih besar dari perencanaan yang kita buat sebagus apapun design-nya.

Kedelapan, bekerjalah di medan amal
Pada akhirnya sebuah rencana bagaimana pun juga hanya akan menjadi goretan hitam di atas putih jika tidak diamalkan. Maka mengaplikasikan rencana itu adalah bagian dari proses penyelamatan umat dan pencapaian cita-cita Islam. Dalam kondisi apapun dan di manapun kita berada, maka bekerjalah secara proporsional dan manhaji. Beramal bukan berarti menunggu orang lain menyoroti kita terlebih dahulu, tapi beramallah seikhlasnya. Dengan beramal akan tercapai keberkahan, sebaliknya, Allah memperingatkan kita, melalui ayat ini, “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tiada kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff: 3)

Memiliki visi dan obsesi besar sebagai Khairu Ummah
Pendahuluan ini tampak panjang dan mungkin terlalu abstrak karena banyak teori yang diberikan. Sebenarnya kumpulan tulisan tadabbur al-Qur’an ini adalah dalam rangka membangun visi dan obsesi besar sebagai khairu ummah dalam diri kita dan alam lembaga yang diamanahkan pada kita sehingga dibutuhkan banyak teori dan konsep dasar yang menjadi pijakan pergerakannya. Menjadi umat yang terbaik bagi umat Islam saat ini mun.gkin tampaknya pesimistis untuk sebagian orang, tapi jika kita menguatkan kembali konsep keimanan kita, tidak layak bagi kita untuk merasa inferior: Kita harus bangkit bersama dengan visi peradaban yang mulia.
Allah berfirman:
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (QS. Ali Imran: 139)
Para cendekiawan muslim mengatakan bahwa di setiap kebangkitan, selalu diawali dengan kebangkitan ilmu. Upaya menggali informasi yang termaktub dalam al-Qur’an ini adalah sebagian dari pencarian pengetahuan yang Allah berikan pada kita agar kita selalu percaya diri untuk bangkit menyongsong masa depan yang mulia. Ketahuilah bukan saja segolongan kaum muslimin yang ditunggu umatnya tampil menjadi pemimpin dunia, tetapi juga mayoritas manusia menghendaki adanya peradaban yang tampil memimpin dunia ini ke arahnya yang benar. Dan kita yakin bahwa peradaban Islam membimbing ke jalan benar itu.

Mengapa Nabi Sulaiman
Bukanlah keharusan kita menentukan satu dua figur untuk kita ikuti, sebab dalam Islam, semua nabi adalah nabi-nabi kaum muslimin. Dan mereka semua adalah qudwah yang harus diteladani kaum muslimin di mana dan kapan pun mereka berada. Mengapa nabi Sulaiman dijadikan sentral pembicaraan dalam tadabbur ini? Tiada alasan yang mendasari saya mengambil figur nabi Sulaiman, selain karena sosok pribadi beliau dan kerajaannya mencerminkan spirit yang obsesif yang sangat relevan dengan realitas kita saat ini yang mencita-citakan terwujudnya khilafah Islamiyah di masa yang akan datang sebagai struktur penyangga peradaban Islam di muka bumi ini dan menjadi sokoguru peradaban bagi peradaban-peradaban manusia lainnya.
Sesuai teori-teori Masa Depan yang dibahas di awal tadi, setting tradisi keunggulan Nabi Sulaiman di Masa Lalu yang dikabarkan di dalam Al-Qur’an ini adalah cerminan Masa Depan yang akan digapai. Maka atas dasar pemikiran ini, kita perlu mempelajari struktur dan skema pembangunan masa depan yang digambarkan al-Qur’an melalui setting tradisi nabi Sulaiman a.s. ini serta dikontekstualisasikan dengan upaya pencapaiannya di masa kini. Di sinilah kemudian logika ‘Merebut Masa Kini dengan Setting Masa Depan’ dapat kita terapkan, yakni mendesain diri dan umat hari ini dengan setting Masa Depan yang tergambarkan dari al-Qur’an dan pengalaman masa lalu sejarah kejayaan umat terdahulu.

Nabi Sulaiman a.s adalah raja kaum Bani Israel setelah Nabi Daud a.s. yang mendapatkan kesuksesan di berbagai segi dan sektor kehidupan secara signifikan. Al-Qur’an banyak mengelaborasi keajaiban-keajaiban yang ditampakkan di masanya. Keunikan lain yang tampak dari Nabi Sulaiman ini adalah pemberian Allah yang tidak tanggung-tanggung pada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh serta mengoptimalisasi sumber daya yang diamanahkan padanya dengan sebaik-baiknya.

Maka atas dasar pemikiran itu, saya mengajak anda semua untuk menelusuri bagaimana kita dapat bangkit dengan obsesi Rabbani dengan diawali tadabbur al-Qur’an terlebih dahulu agar kita menjadi sebaik-baik hamba-Nya dan hamba yang taat, sebagaimana Nabi Sulaiman yang semula terpuruk lalu bertaubat dan bangkit dengan penuh gairah melakukan perubahan hingga Allah menyebutnya…Dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh dia sangat taat (kepada Allah). (QS. Shad: 30)

Risalah Gerakan Mahasiswa

28/3/2009 | 2 Rabbi al-Thanni 1430 H | 551 views
Oleh: Asy-Syahid Hasan Al-Banna
Kirim Print

Risalah Kepada Mahasiswa

Bismillaahirrahmaanirrahiem

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw, dan para sahabat.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an).” (An-Nisa’: 174)

Menuju Amal

Wahai Ikhwan!
Setiap kali saya berada di tengah banyak orang yang senantiasa mendengarkanku, maka saya memohon kepada Allah dengan sangat agar Dia berkenan mendekatkanku kepada suatu masa, di mana ketika itu kita telah meninggalkan medan kata-kata menuju medan amal, dari medan penentuan strategi dan manhaj menuju medan penerapan dan realisasi Telah sekian lama kita menghabiskan waktu dengan hanya sebagai tukang pidato dan ahli bicara, sementara zaman telah menuntut kita untuk segera mempersembahkan bahkan amal-amal nyata yang profesional dan produktif. Dunia kini tengah berlomba untuk membangun unsur-unsur kekuatan dan mematangkan persiapan, sementara kita masih berada di dunia kata-kata dari mimpi-mimpi,

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Shaff: 2-3)

Wahai Ikhwan!
Ikhwan telah menegaskan kepada kalian tentang universalitas, daya jangkau, dan daya sentuh ajaran Islam atas seluruh aspek kehidupan umat, baik yang sedang bangkit, telah mapan, yang baru tumbuh, maupun yang sudah maju. Sebagian mereka memperbincangkan tentang “sikap Islam terhadap nasionalisme”. Islam mengingatkan pada kalian bahwa nasionalisme Islam adalah nasionalisme yang paling luas batasnya, yang paling integral eksistensinya, dan paling abadi. Sesungguhnya orang yang paling ekstrim fanatismenya pada tanah air tidak mendapatkan semuanya pada agen-agen nasionalisme fanatik sebagaimana yang didapatkan pada semangat nasionalisme kaum muslimin. Saya tidak perlu memperpanjang penjelasan mengenai hal itu setelah mereka mengungkapnya, akan tetapi saya. hanya akan mengungkap satu hal, yang banyak orang salah paham tentangnya dan besar pula eksesnya. Satu hal itu adalah “Politik dan Islam.”

Agama Dan Politik

Sedikit sekali Anda akan menjumpai orang yang berbicara kepada Anda tentang politik dan Islam, kecuali Anda akan melihat orang tadi memisahkan dengan pemisahan yang sejauh-jauhnya antara politik dan Islam. Ia letakkan setiap makna dari keduanya di sisi yang berbeda. Keduanya menurut sebagian besar orang tidak mungkin dapat bertemu dan berintegrasi. Dari pemahaman inilah kemudian sebuah jam’iyah yang berorientasi ke sana dinamakan jam’iyah Islamiyah, bukan Siyasiyah. Di situ yang ada hanya integrasi spiritual keagamaan yang tidak ada unsur politik di dalamnya.

Anda bisa melihat pada pengguliran undang-undang dan sistem yang ada di organisasi-organisasi Islam bahwa jam’iyah (organisasi) tidak membahas masalah-masalah politik.

Sebelum saya mengupas teori ini, baik dengan membenarkan atau menyalahkan, saya ingin menekankan dua hal penting:

Pertama: sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan mungkin juga berseteru. Mungkin, seseorang disebut politisi dengan segala makna politik yang terkandung di dalamnya, namun ia tidak berinteraksi dengan partai atau bahkan tidak ada kecenderungan ke sana. Mungkin pula ada orang yang berpolitik praktis (terjun dalam kepartaian) namun ia sama sekali tidak mengerti masalah politik. Atau mungkin ada pula orang yang menggabungkan antara keduanya sehingga ia adalah politisi yang berpolitik praktis atau berpolitik praktis yang politisi pada proporsi yang sama.

Ketika saya berbicara tentang politik praktis pada kesempatan ini, maka yang saya kehendaki adalah politik secara umum. Yakni melihat persoalan-persoalan umat baik internal maupun eksternal yang sama sekali tidak terikat dengan hizbiyah (kepartaian). Ini yang pertama.

Kedua: sesungguhnya orang-orang non-muslim, tatkala mereka bodoh tentang Islam ini, atau tatkala mereka dibuat pusing oleh urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamnya, Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang sama sekali tidak berguna.

Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum muslimin bahwa Islam adalah sesuatu sementara masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu suatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya sama sekali. Islam adalah sesuatu, dan peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik

Berbicaralah kepadaku atas nama Tuhanmu wahai ikhwan! Jika Islam adalah sesuatu yang bukan politik bukan sosial, bukan ekonomi, dan bukan peradaban, lantas apa Islam itu? Apakah ia hanya rakaat-rakaat kosong tanpa kehadiran hati? Apakah ia hanya lafazh-lafazh sebagaimana yang dikatakan Rabi’ah Al-Adawiyah, “Istighfar yang butuh kepada istighfar? ” Hanya untuk hal semacam inikah Al-Qur’an itu diturunkan sebagai aturan yang sempurna, jelas, dan rinci? “Sebagai penjelas bagi segala sesuatu, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman,” (An-Nahl: 16)

Substansi makna yang merendahkan fikrah islamiyah dan ruang sempit yang dibatasi oleh makna Islam semacam inilah yang diupayakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempersempit ruang gerak kaum muslimin di dalamnya dan melecehkan mereka seraya (musuh-musuh itu) mengatakan, “Kami berikan kepada kalian kebebasan beragama. ” Padahal Undang-Undang Dasar negara telah menggariskan bahwa agama resmi negara adalah Islam.

Islam Yang Utuh

Wahai Ikhwan!

Saya umumkan dari atas mimbar ini dengan penuh keterusterangan, ketegasan, dan kekuatan kata, bahwa Islam itu bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya, Islam adalah aqidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan moral dan material, peradaban dan perundang-undangan. Sesungguhnya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut untuk memperhatikan semua persoalan umat. Barang siapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum muslimin, dia bukan termasuk golongan mereka

Saya yakin para salafus shalih –semoga Allah melimpahkan ridha kepada mereka– tidak memahami Islam selain dengan makna ini. Dengannya mereka berhukum, demi kejayaannya mereka berjihad, di atas kaidah-kaidahnya mereka bergaul dan berinteraksi, serta pada batas-batasnya mereka mengatur setiap urusan dari urusan-urusan kehidupan dunia yang operasional, sebelum nantinya urusan-urusan akhirat yang spiritual. Semoga Allah berkenan memberi rahmat kepada Khalifah Pertama tatkala beliau berkata, “Seandainya tali untaku hilang, tentu aku akan mendapatkannya dalam Kitabullah.”

Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan substansi makna politik yang tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya. kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya. Saya juga bisa katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (pembuangan makna politik dari substansi Islam, pent.) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam’iyah islamiyah harus menegaskan pada garis-gars besar programnya tentang Perhatian dan kepedulian jam’iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya, Kalau tidak seperti itu, jam’iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar.

Wahai Ikhwan!
Biarkan saya untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang Mengejutkan dan asing di mata mereka-mereka yang terbiasa mendengarkan senandung perpisahan antara Islam dan politik. mungkin pula setelah penegasan ini, setelah selesainya acara ini, akan ada sebagian orang yang mengatakan, “Sesungguhnya jamaah Ikhwanul Muslimin telah menanggalkan mabda’-mabda’nya telah keluar dari sifat-sifatnya dan menjadi sebuah jamaah politik, setelah sebelumnya merupakan jamaah keagamaan Kemudian setiap orang yang gemar menduga-duga akan terus melakukan berbagai ta’wil dengan berdasar kepada sebab-sebab perubahan menurut pandangannya itu,

Wahai tuan-tuan, Allah mengetahui bahwa aktivis Ikhwan tidak pernah melewatkan suatu hari pun untuk tidak menjadi politisi sebagaimana tidak mungkin melalui suatu waktu untuk menjadi ghairul muslimin (non-muslim). Dakwah mereka tidak pernah memisahkan antara politik dan agama, dan manusia tidak akan pernah melihat mereka pada suatu saat menjadi pembela hizbiyah.

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya seraya berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amalmu kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al-Qashash:55)

Mustahil Ikhwan meniti jalan yang bukan jalan mereka, atau beramal untuk sebuah fikrah yang bukan fikrah mereka ‘ atau mensibghah diri dengan warna yang bukan warna Islam yang hanif.

“Shibghah Allah, dan adakah shibghah yang lebih baik dari pada (shibghah Allah? Dan kami hanya menghambakan diri kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 138)

Politik Internal

Wahai Ikhwan!
Biarkan saya untuk berpanjang lebar bersama kalian dalam menegaskan makna ini Saya katakan, kalau yang dikehendaki dari politik adalah makna internalnya seperti mengatur roda Pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika berbuat baik dan diluruskan, Jika menyimpang sungguh Islam telah memperhatikan sisi ini, telah meletakkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya, merinci hak-hak pemerintahan dan hak-hak yang diperintah (rakyat) menjelaskan sikap-sikap yang zhalim dan yang dizhalimi, serta menggariskan batas-batas (hukuman) yang tidak boleh dilanggar dan dilampaui.

Model-model perundang-undangan perdata dan pidana dengan berbagai cabangnya, telah diungkap oleh Islam. Islam -pada semua posisi- telah meletakkan diri pada suatu posisi yang menjadikannya sebagai sumber yang pertama dan rujukan yang paling suci. Tatkala melakukan hal itu, Islam telah menggariskan ushul yang integral, kaidah-kaidah yang umum dan maqashid, yang melingkupi semuanya. Islam mewajibkan manusia untuk merealisasikannya dan membiarkan mereka untuk melaksanakan rincian sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, serta berijtihad dengan apa yang lebih memungkinkan untuk mendatangkan maslahat bagi mereka.

Islam telah menggariskan dan menegaskan adanya kepemimpinan umat serta mewasiatkan agar setiap muslim mampu menjadi manajer dengan kesempurnaan manajerialnya dalam memantau jalannya roda pemerintahan, memberikan nasihat, kontribusi, dan selalu kritis terhadap setiap hasil perhitungan. Islam telah mewajibkan kepada petinggi pemerintahan agar berbuat bagi kemaslahatan rakyat dalam rangka memapankan yang haq dan membasmi yang batil, maka ia juga mewajibkan kepada rakyat agar mendengar dan taat kepada pemimpin. Jika pemimpin itu dijumpai melakukan penyimpangan, maka wajib bagi mereka untuk meluruskannya sesuai dengan kebenaran yang ada, memberlakukan hukum yang berlaku, dan mengembalikannya kepada kerangka keadilan. Ajaran ini semua bersandar pada kitab Allah dan hadits-hadits Rasulullah saw., kami sama sekali tidak mengada-ada. Berikut adalah firman Allah yang menjelaskan hal itu:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab Yang lain itu. Maka putuskan perkara mereka menurut apa Yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengar meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan Yang terang Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap Pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya pada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya padamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari Sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya, Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

Apakah hukum Jahiliyah Yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah Yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang Yang yakin?” (Al-Maidah: 48-50)

Ada puluhan ayat lain yang membahas apa yang kita sebutkan di atas secara gamblang dan rinci.

Perihal penegasan adanya pemimpin umat dan penegasan dengan adanya opini umum yang ada di dalamnya, Rasulullah saw. bersabda, “Agama itu nasihat.” Mereka berkata, “Bagi siapakah wahai Rasulullah!”, Rasulullah menjawab, “Bagi Allah dan Rasul-Nya, Kitab-Nya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan kalangan umum mereka.”

Rasulullah saw. juga bersabda, “Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah kata-kata yang benar di depan penguasa durjana.”

Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan pemimpin zhalim kemudian menyuruh (melakukan) kebaikan dan mencegahnya (dari perbuatan yang keji) lalu sang pemimpin tadi membunuhnya.”

Ada ratusan hadits lain Yang menjelaskan dengan rinci tentang pernyataan di atas, menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengontrol kerja para petinggi pemerintahan, dan memantau sejauh mana kadar penghargaan mereka terhadap kebenaran dan upaya mereka dalam merealisasikan hukum-hukum Allah.

Nah, apakah Rasulullah saw. ketika memerintah untuk melakukan campur tangan (terhadap urusan pemerintahan), atau pemantauan, atau kontribusi, atau apalah namanya, beliau menjelaskan bahwa amal tersebut bagian dari agama. Ia adalah jihad akbar yang balasannya adalah syahadah udzma (syahadah yang paling agung). Apakah ketika melakukan itu Keduanya akan bertentangan dengan ajaran Islam, mencampuradukkan politik dengan agama, atau hal itu merupakan karakteristik Islam yang karenanya Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw?

Pada saat kita memisahkan hal tersebut dari Islam, itu berarti kita telah memberikan persepsi pada diri kita tentang sebuah Islam yang khusus, tidak sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw.

Sungguh substansi integral dari makna Islam yang shahih ini telah bertengger dalam jiwa para salafus shalih dari umat ini, telah bersemayam dengan spiritualitas dan intelektualitas mereka, serta terlihat dengan jelas dalam beberapa abad kehidupan, sebelum akhirnya muncul sebuah Islam yang terjajah, yang rendah dan hina,

Dari sinilah wahai ikhwan, para sahabat Rasulullah saw. membahas permasalahan sistem pemerintahan, berjihad dalam membela kebenaran, bersedia memanggul beratnya beban dalam kepemimpinan umat, dan memperlihatkan sebuah karakter yang lekat dengan kepribadian mereka, yakni ahli ibadah di malam hari dan tentara berkuda di siang hari. Sampai-sampai Ummul Mukmimm, Aisyah berkhutbah di depan khalayak tentang pernik-pernik politik dan mempresentasikannya kepada mereka liku-liku pemerintahan dengan penjelasan yang memukau disertai argumen yang kuat.

Dari sini pula, maka pasukan tentara yang berani menjebol benteng ketaatan kepada Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, berani memerangi dan melakukan oposisi kepadanya yang dipimpin oleh Ibnul Ash’ats dinamakan “Katibatul Fuqaha”, karena di dalamnya terdapat Sa’id bin Jubair, Amir Asy-Sya’bi, serta para fuqaha dan ulama dari kalangan tabiin.

Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana sikap para ulama dalam memberi nasihat dan kontribusi kepada raja, menghadapi para pemimpin pemerintahan dengan haq, yang kisah sebagian mereka tidak akan cukup diungkap di sini, apalagi semuanya.

Masih dari dalam kerangka ini, buku-buku fiqih dulu maupun, sekarang penuh dengan bahasan tentang hukum imarah (kepemimpinan), syahadah (kesaksian), da’awaa (hukum tuduhan), jual-beli, muamalah, hudud, dan ta’zir (pengasingan). Ini semuanya karena Islam merupakan serangkaian hukum yang bersifat amaliyah (operasional) dan ruhiyah (spiritual). Jika kekuasaan perundang-undangan (baca: Lembaga Legislatif) menggariskan hukum-hukum itu, maka ia siap untuk dijaga (eksistensi hukum tadi) dan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Tidak ada gunanya perkataan seorang khatib di atas mimbar setiap Jum’at, “Sesungguhnya khamer, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan.” (Al-Maidah: 90) Padahal pada saat yang sama undang-undang negara membolehkan mabuk-mabukan dan para aparat pun tidak segan-segan melindungi para pemabuk, bahkan mengantarkan mereka (ketika mabuk) sampai ke rumah dengan aman.

Oleh karena itulah ajaran Al-Qur’an tidak pernah lepas dari kendali kekuasaan, politik pemerintahan merupakan bagian dari agama, dan di antara kewajiban seorang muslim adalah harus mempunyai kepekaan dalam memberi jalan keluar kepada pemerintah dalam permasalahan politik sebagaimana memberi jalan keluar dalam permasalahan ruhiyah. Inilah sikap Islam terhadap politik internal.

Politik Eksternal

Jika yang dikehendaki dari politik adalah makna eksternalnya, yakni menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti jalan menuju sasaran-sasaran yang mulia, di mana dengan cara itu umat akan memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi di kalangan bangsa-bangsa lain, membebaskannya dari imperialisme dan campur tangan bangsa lain dalam urusannya, dengan menetapkan pola interaksi bilateral maupun multilateral yang menjamin hak-haknya, serta mengarahkan semua negara menuju perdamaian internasional yang peraturan ini biasa mereka sebut Hukum Internasional. Jika itu semua yang dikehendaki, maka Islam telah menaruh perhatian serius akan masalah itu dan memberikan fatwa dengan jelas dan gamblang tentangnya. Di mana kaum muslimin diwajibkan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut secara sama antara ketika perang dan dalam keadaan damai. Barangsiapa mengabaikan dan menelantarkannya, berarti ia bodoh tentang ajaran Islam, atau bahkan telah murtad.

Islam telah menerapkan kepemimpinan umat Islam dan supremasinya bagi umat lain pada banyak ayat dalam Al-Qur’an, di antaranya:

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat pertengahan (adil dan pilihan) dan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.” (Al-Baqarah: 143)

“Dan izzah itu adalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (Al-Munafiqun: 8)

Al-Qur’an juga menegaskan integritas kepemimpinan umat ini dan membimbingnya menuju penjagaan eksistensi serta mengingatkan akan bahaya campur tangan dari yang lain terhadap berbagai urusan internalnya, sebagaimana firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi Sungguh telah Kami terangkan padamu ayat-ayat Kami, jika kamu memahaminya. Beginilah kamu menyukai mereka padahal mereka tidak menyukai kamu.” (Ali Imran: 118-119)

Di samping itu Al-Qur’an mengingatkan akan bahaya kolonialisme dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya bagi (keutuhan) bangsa. Berkenaan dengan hal itu, Allah berfirman:

“Sesungguhnya raja-raja (penjajah), jika memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya- yang mulia jadi hina, dan demikianlah yang akan mereka perbuat.” (An-Naml 34)

Kemudian Islam mewajibkan umatnya untuk menjaga eksistensi superioritas kepemimpinan ini dan memerintah untuk menyiapkan berbagai bekal dan kesempurnaan kekuatan, Sehingga al-haq akan tetap terpelihara dengan kemuliaan superioritas kepemimpinan tadi, sebagaimana itu pernah terjadi pada masa merekahnya cahaya hidayah.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (Al-Anfal: 60)

Islam juga tidak lupa menyuruh umatnya agar bersikap hati-hati tatkala dalam kondisi menang, berhati-hati dari sifat tidak adil dan perampasan hak. Islam sangat menekankan kepada kaum muslimin agar menjauhi sifat permusuhan bagaimana pun bentuknya, sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, Berlaku adillah karena berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Al-Maidah: 8)

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 41)

Dari sinilah wahai ikhwan, kita lihat para penghuni masjid, para pencinta ibadah, para penghafal Al-Qur’an, bahkan putra-putra desa dari kampung dari kalangan salaf tidak puas dengan kemerdekaan negara mereka, kemuliaan kaum mereka, dan terbebasnya bangsa mereka saja. Akan tetapi mereka berkelana ke pelosok bumi, melanglang buana sampai ke seluruh penjuru negeri untuk membebaskan dan mendidik (negeri-negeri itu). Mereka memerdekakan umat sebagaimana mereka telah merdeka. Mereka beri petunjuk dengan hanya Allah sebagaimana mereka telah mendapatkannya. Mereka bimbing umat kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka tidak menipu, tidak durhaka, dan tidak melampaui batas. Mereka tidak memperbudak manusia, karena manusia-manusia itu dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka.

Dari sini pulalah kita melihat Uqbah bin Nafi’ melintasi lautan Atlantik, seraya berkata,

“Ya Allah, seandainya aku tahu bahwa di balik samudera ini terdapat bumi yang lain, tentu akan aku lanjutkan pengembaraan ke penjuru negeri untuk berjihad di jalan-Mu.”

Pada saat yang sama, putra Abbas, salah satu di antara mereka wafat dan dikubur di Thaif dekat Mekkah, yang kedua di Bumi Turki di wilayah paling Timur, dan yang ketiga di Afrika, wilayah paling Barat. Hal itu dalam rangka jihad fi sabilillah untuk meraih keridhaan Allah. Demikianlah para sahabat dan tabiin memahami dengan benar bahwa politik eksternal adalah bagian dari lubuk kedalaman ajaran Islam.

Hak-Hak Internasional

Sebelum saya akhiri rangkaian penjelasan ini, saya ingin menegaskan kepada kalian sebuah penegasan final, bahwa politik Islam, baik internal maupun eksternal sangat menghargai hak-hak non muslim, baik hak-hak internasional, maupun hak-hak kenegaraan bagi minoritas non muslim. ini semua karena wibawa Islam di mata internasional adalah kharisma yang paling prestisius sepanjang sejarah.

Allah berfirman,
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Al-Anfal: 58)

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (At-Taubah: 4)

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al-Anfal: 61)

Jika Italia maju seperti itu memerangi Ethiopia sampai bisa menguasainya dan tidak pernah sama sekali mengumumkan perang kepadanya atau memberi aba-aba sebelumnya, kemudian jejaknya diikuti oleh Jepang, ia perangi Cina dan tidak pernah memberi tahu dan mengumumkan sebelumnya, maka sejarah tidak pernah mencatat suatu kejadian pun dari Rasulullah saw. atau dari para sahabat bahwa mereka pernah memerangi suatu kaum atau menyerang suatu kabilah, tanpa memberi tahu terlebih dahulu, mengumumkan dan mengembalikan perjanjian dengan jujur.

Islam menjamin hak-hak minoritas dengan nash Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah,

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Politik Islam juga sama sekali tidak bertentangan dengan sistem undang-undang yang berdasarkan Syura. Bahkan sesungguhnya politik Islamlah yang meletakkan dasar-dasarnya dan menyuruh manusia untuk melaksanakannya. Sebagaimana hal itu tertera dalam firman Allah,

“….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali lmran: 159)

Rasulullah saw. tidak segan-segan bermusyawarah dengan para sahabatnya dan mempertimbangkan pendapat salah seorang di antara mereka, sehingga jelaslah mana dari pendapat itu yang benar. Sebagaimana hal itu dilakukan Rasul bersama Habbab bin Al-Mundzir pada Perang Badar. Rasulullah juga bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Seandainya kalian berdua sepakat, niscaya aku tidak akan menentang kalian. ” Demikian pula Umar pernah meninggalkan suatu perkara untuk kemudian disyurakan oleh kaum muslimin. Dan kaum muslimin akan senantiasa dalam kebaikan selama perkara mereka diputuskan dengan syura di kalangan mereka.

Keluasan Tasyri’ Islami

Ta’alim dan politik Islam sama sekali tidak mengandung substansi makna yang usang dan ketinggalan zaman Bahkan ia merupakan tata perundang-undangan (tasyri’) yang paling jeli dan utuh. Sistem perundang-undangan telah mengakui dan zaman akan mengungkap kepada manusia tentang kejelasan masalah yang belum mereka ketahui, bahwa tasyri’ islami telah mendahului tata perundang-undangan manapun dalam hal kejelian di bidang hukum, presentasi permasalahan, dan keluasan sudut pandang. Hal ini banyak dibuktikan oleh pakar-pakar hukum non muslim, sebagaimana hal itu banyak disebut dalam buku-buku dan tulisan-tulisan mereka. juga diperkuat oleh muktamar-muktamar perundang-undangan internasional, yang membuktikan bahwa Islam telah meletakkan kaidah-kaidah global yang menjadikan seorang muslim tidak akan meninggalkan medan yang luas untuk memanfaatkan setiap tasyri’ yang berguna dan tidak bertentangan dengan asas-asas dan maqashid Islam. Islam memberi pahala dalam berijtihad dengan menepati syarat-syaratnya, menetapkan kaidah mashlahah mursalah, mengkategorikan ‘urf (adat istiadat) sebagai salah satu penentu keputusan hukum dan sangat menghargai pendapat imam.

Kaidah-kaidah ini semuanya menjadikan tasyri’ islami pada posisi puncak di antara perundang-undangan dan hukum-hukum yang ada.

Kandungan makna-makna seperti ini wahai ikhwan ingin disebarluaskan di antara kita. dan kemudian kita mendeklarasikannya kepada manusia-manusia yang lain. Karena masih banyak orang yang memahami Nizham Islam (sistem Islam) dengan makna yang sama sekali tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya. Karena itulah banyak dari mereka yang lari dari Islam dan memerangi dakwahnya. Seandainya mereka memahami sesuai aslinya, niscaya akan kembali kepada Islam, bahkan akan menjadi orang-orang pertama dalam membelanya ‘ sangat bersemangat, dan paling lantang bersuara dalam mendakwahkannya.

Partai Politik

Saudara-saudara yang mulia…
Tinggal satu lagi makna politik dari sekian makna yang ada. Sangat berat untuk saya sampaikan bahwa makna tadi adalah makna yang disamakan dan selalu menyertai kata politik secara tidak proporsional dalam benak sebagian besar orang di kalangan kita. Makna itu adalah bahwa politik sama dengan kepartaian (hizbiyah).

Tentang partai politik, saya pribadi mempunyai pendapat khusus dan saya tidak ingin untuk memaksakan pendapat tadi kepada orang lain. Karena sesungguhnya hal itu bukan untuk kepentingan saya atau kepentingan seseorang. Akan tetapi saya juga tidak ingin merahasiakannya. Saya melihat bahwa kewajiban memberi nasihat kepada umat khususnya dalam situasi seperti ini, itulah sesungguhnya yang mendorong saya untuk mengungkapkan dan mendeklarasikannya kepada manusia secara jelas dan gamblang

Demikian pula saya berharap agar dipahami dengan baik bahwa ketika. saya berbicara tentang partai politik, bukan berarti saya akan berbicara dari partai yang satu kepada partai yang lain, atau mendukung salah satu partai di antara partai-partai yang ada, atau mengkritik yang satu dan memuji yang lain. Bukan, itu bukan bagian dari tugas saya. Namun saya akan membahas tentang prinsip kepartaian itu apa adanya dan mengungkapkan akibat-akibat serta pengaruh yang akan ditimbulkannya. Setelah itu saya biarkan partai-partai yang ada sepanjang sejarah ini dan juga opini umum, untuk menilainya. Dan balasan yang haq itu hanya milik Allah semata,

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapat segala kebajikan di hadapannya, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya.” (Ali Imran: 30)

Tuan-tuan, saya berkeyakinan bahwa partai politik, jika pun sesuai untuk sebagian kondisi dan sebagian negara, maka belum tentu sesuai untuk keseluruhannya. Dan partai politik selamanya tidak sesuai untuk negara Mesir, khususnya pada dekade ini, di mana kita menapaki era baru dan kita ingin untuk membangun bangsa kita dengan kokoh, yang hal itu membutuhkan penyatuan potensi, terkumpulnya berbagai kekuatan, pemanfaatan setiap spesialisasi, dan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk upaya perbaikan.

Seiring dengan tekad kita melakukan perbaikan internal ini, kita harus menyadari bahwa di belakang kita terdapat sebuah manhaj besar, yang menuntut kita untuk mengerahkan semua Potensi ke arah realisasinya, untuk menciptakan suatu bangsa yang dinamis, progresif, dan selalu siap dengan segala sarana dan prasarana modernitas. Itu semua tidak terwujud kecuali dengan adanya kepemimpinan yang shalih dan bimbingan yang lurus, sehingga terwujud sebaik-baik proses takwin (pembentukan). yang bakal mengikis habis ketidakberdayaan, kemiskinan, kebodohan, dan inferioritas. Karena semua itu merupakan faktor penyebab kehancuran dan kendala kebangkitan. Bukan di sini tempatnya untuk mengungkap rincian manhaj tadi, semoga ada waktu yang lain. Saya tahu kita semua merasa berat dengan beban yang harus dipikul, merasa betapa banyak tenaga dan potensi yang harus dikerahkan dalam menata tanzhim internal (baca: negara) di semua aspek kehidupan.

Kita telah menetapkan sistem politik wihdah (kesatuan tanpa kepartaian) dua kali. Setiap kali dari dua periode itu selalu menampakkan kecemerlangan dalam sejarah kebangkitan. Periode pertama adalah ‘fajar kebangkitan yakni tatkala bangsa ini muncul dari dalam shaf yang satu dan bersatu-padu menyerukan dan menuntut haknya di tengah kebuasan para pemberangus dan penjajah, serta ketika kekuatan-kekuatan zhalim bercokol dalam pemerintahannya. Yang kedua adalah tatkala pembentukan ‘front nasional’ yang mengajak kita menapaki langkah kendati pendek, namun tidak bisa dipungkiri langkah itu mengajak ke depan.

Kita juga telah mencoba sistem multi partai berkali-kali. Namun tidak ada yang bisa kita lihat dan kita rasakan kecuali tercerai-berainya masyarakat, kerja yang berantakan, berbagai urusan rusak binasa, dekadensi moral, kehancuran rumah tangga, keterputusan hubungan kekerabatan, dan saat itulah musuh memanfaatkan situasi di tengah-tengah mereka yang bersengketa dan bercerai-berai.

Kepartaian Dan Campur Tangan Asing

Saya yakin wahai tuan-tuan, bahwa campur tangan asing dalam urusan umat itu tidak akan masuk kecuali melalui pintu persengketaan, perselisihan, dan sistem kepartaian yang jelek. Kalau salah Satu partai menang, maka musuhnya akan senantiasa mengintai, menunjukkan sikap perlawanan pada yang lain dan bersikap, seperti kera. di depan kucing. Di balik itu rakyat tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian yang besar menyangkut harga diri, kemerdekaan, moral, dan kepentingan-kepentingannya.

Sesungguhnya kita ini wahai ikhwan, adalah bangsa yang belum sempurna kemerdekaannya. Kita saat ini masih dalam kebimbangan. Masih banyak ambisi yang melingkupi kita dari Segala penjuru. Sungguh tiada jalan untuk memelihara. dan mengisi kemerdekaan serta mengikis habis ambisi-ambisi ini kecuali dengan persatuan dan kesatuan.

Jika sebuah bangsa yang telah sempurna kemerdekaannya dan telah menemukan jati dirinya, diperkenankan untuk berada dan membentuk kelompok (partai-partai) dalam masalah-masalah yang bukan esensial, maka hal serupa itu tidak dapat berlaku di negara yang baru tumbuh, Sebagaimana kita mencatat kejadian-kejadian berskala internasional, maka terapinya adalah kembalinya bangsa-bangsa itu untuk membersihkan diri secara mutlak atau tetap dalam kondisi formalisme kepartaian semata dan konservatif tradisional dengan tetap adanya wihdah di semua ini

Tidak Ada Partai Politik Di Mesir

Saya juga yakin bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir sekarang ini lebih sebagai partai politik karbitan ketimbang sungguhan. Yang mendorong kemunculannya itu lebih bersifat inisiatif perorangan daripada kepentingan nasional. Tugas serta faktor-faktor yang melatarbelakangi pembentukan partai-partai itu kini sudah tidak ada lagi. Maka sistem ini seharusnya juga tidak berlaku, menyusul tidak adanya tugas dan faktor-faktor Yang melatarbelakanginya.

Partai Wafd dibentuk oleh rakyat untuk menuntut kemerdekaan dengan jalan negosiasi. Dan itulah tugasnya. Kemudian dari partai itu berdirilah partai Ahrar Ad-Dusturiyin karena adanya Perbedaan dalam cara dan gaya negosiasi. Negosiasi dengan cara, Sistem, dan kaidah-kaidahnya itu kini telah usai. Maka tugasnya Pun semestinya telah selesai.

Partai Rakyat (Hizbusy Sya’b) terbentuk karena adanya aturan dan undang-undang khusus. Undang-undang sebagai aturan dengan segala bentuk dan situasinya itu kini telah usai. Maka misi pendirian partai itu pun berarti telah selesai. Berdirinya Partai Persatuan (Hizbul Ittihaad) dikarenakan adanya sikap dan kondisi khusus yang menyangkut pertikaian antar golongan dan partai. Kondisi-kondisi seperti ini semuanya telah usai dan berkembanglah situasi-situasi baru yang menuntut adanya manhaj (sistem) dan kerja untuk merealisasikannya, Jadi adanya partai-partai ini sama sekali tidak punya arti. Tidak ada gunanya kembali ke masa lalu, sementara masa depan sangat mendesak kita untuk segera beramal dan meniti jalan dengan langkah secepat mungkin.

Islam Tidak Merekomendasikan Kepartaian

Wahai Ikhwan!
Setelah pemaparan di atas, saya yakin bahwa Islam yang merupakan dienul wihdah dalam segala hal, adalah agama kelapangan dada, kejernihan hati, ukhuwah yang shahih, dan kerjasama yang jujur antara seluruh lapisan masyarakat, apalagi sesama umat mukmin. Sesungguhnya bangsa yang bersatu sama sekali tidak akan merekomendasi, tidak merelakan, dan tidak menyetujui adanya sistem kepartaian. Al-Qur’an sendiri mengatakan,

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran 103)

Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan (amalan) yang lebih utama dari shalat dan shaum?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Rasulullah saw. bersabda, “Melakukan ishlah (mendamaikan) antara sahabat!”

Semua konsekuensi logis yang diakibatkan oleh sistem kepartaian, seperti: perpecahan, pemutusan hubungan, perselisihan, dan permusuhan, semua itu sangat dibenci oleh Islam. Banyak hadits tegas dan ayat yang memberikan perhatian dan larangan yang kalian untuk tidak mendekatinya. Rincian hal itu panjang dan semua mungkin sudah mengetahuinya.

Kebebasan Berpendapat

Wahai Ikhwan!
Bebaskanlah antara kepartaian yang slogannya adalah kebebasan pendapat dan kebebasan berselisih dalam berbagai pandangan baik yang umum maupun detailnya, dengan kebebasan berpendapat yang dibolehkan dan dianjurkan dalam Islam dan ungkapkan berbagai sudut pandang perbedaan -yang sudah dalam rangka mencari kebenaran. Sehingga mana baik sudah jelas masalahnya, semua orang mau mengikutinya, demikian arus mayoritas, maupun ijma’ para ulama. Dengan tegaknya tidak ada fenomena di tengah masyarakat kecuali tegaknya persatuan dan tidak pula di tengah para ulama kecuali kesepakatan.

Wahai Ikhwan!
Telah tiba saatnya untuk menggaungkan suara dalam rangka menghapus sistem kepartaian di Mesir. Telah tiba saat untuk mengganti hanya dengan sebuah sistem yang mempersatukan kata dan mengintegrasikan semua potensi umat di bawah naungan manhaj islami yang shalih. Di mana dengan menggariskan akan mengoperasionalkannya semua kekuatan dan potensi bisa menyatu.

Dengan Prinsip-prinsip di atas, Ikhwanul Muslimin melihat bahwa kewajiban mereka tidak bisa ditawar-tawar lagi baik dari deklarasi Islam, kenegaraan, maupun kemanusiaan, mereka mendeklarasikan dan mengungkapkannya kepada manusia dengan penuh keimanan dan argumentasi yang kuat, dengan penuh keyakinan bahwa realisasi dari prinsip-prinsip itu merupakan satu-satunya jalan untuk memantapkan kebangkitan di atas asas dan pondasi yang paling utama.

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)

Hasan Al-Banna

Khatimah

Wahai Ikhwan!
Mungkin banyak orang yang akan menertawakan prinsip-prinsip ini manakala mereka mendengarnya. Mereka adalah orang-orang yang putus asa atas diri mereka sendiri, lupa akan adanya dukungan Allah bagi hamba-hamba yang beriman dan tidak mengetahui bahwa apa yang kalian deklarasikan ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah dakwah islamiyah yang dibawa dan diperjuangkan oleh Rasulullah saw. serta diamalkan oleh para sahabat beliau. Wajib bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan kitab-Nya untuk mengamalkannya dan berjihad di jalannya, sebagaimana mereka dahulu telah memperjuangkannya.

Wahai Ikhwan!
Adapun kalian, sungguh kalian telah beriman kepada prinsip-prinsip itu semuanya. Kalian yakin bahwa Allah akan memenangkan perkaranya. Untuk hal itu kalian sudah memiliki argumentasi ilmiah, landasan historis, kondisi geografis, dan dukungan Rabbani, serta mendapatkan kabar gembira dalam firman Allah, Tuhan semesta alam.

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi.” (Al-Qashash: 5)

Ketahuilah bahwa Allah beserta kalian. Saya tidak ingin panjang lebar untuk menjelaskan kewajiban kalian, karena kalian telah mengetahuinya. berimanlah ikhlaslah, berbuatlah, dan nantikan saat-saat keberuntungan dan kemenangan. Bagi Allah semua perkara, sebelum dan sesudahnya. Pada hati itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang (dikehendaki-Nya). Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hasan Al-Banna